
Dalam dunia kerja hari ini, kita dihadapkan pada fenomena baru: lowongan kerja yang menjadi bahan ejekan. Seolah-olah, iklan loker bukan lagi panggilan untuk berkontribusi, tapi bahan hiburan digital di tengah timeline yang bising. Saya tak habis pikir—apa yang sebenarnya sedang terjadi?
Beberapa hari lalu, seorang pemilik usaha kecil memposting lowongan sederhana. Isinya sangat normatif: wajib sholat 5 waktu, tidak merokok, siap kerja saat jam sibuk, lebih baik jika punya kendaraan sendiri. Tapi apa yang terjadi? Komentar penuh sindiran, cemoohan, bahkan olok-olok soal “kerja kok pake syarat akhlak.”
Pertanyaannya: Sejak kapan etika jadi bahan lelucon?
Sejak kapan usaha menjaga lingkungan kerja bersih dan sehat malah dianggap remeh?
Mentalitas yang Tertukar
Ada gejala besar yang sedang kita hadapi: banyak orang lebih ingin dimengerti, daripada siap untuk mengerti. Mereka menuntut hak sebelum menunjukkan kelayakan. Mereka mencari gaji layak, tanpa pernah bertanya apakah dirinya sudah “layak digaji.”
Padahal, dunia kerja adalah dunia kontribusi. Bukan dunia “terserap.” Bukan tempat curhat ekspektasi. Tapi tempat bertanya: “Apa yang bisa saya bantu untuk tumbuh bersama perusahaan ini?”
Membangun Bukan Menggugat
Setiap pengusaha kecil adalah pahlawan ekonomi. Ia menciptakan lapangan kerja, menanggung resiko, dan merawat nilai. Ketika mereka menetapkan syarat kerja yang sesuai nilai hidup mereka, itu bukan sok suci—itu komitmen. Dan yang tidak cocok? Ya sudah, tidak perlu ikut.
Perlu kita sadari: semakin banyak yang sinis terhadap kebaikan, semakin sulit kita memajukan bangsa. Dan itu bukan soal gaji. Itu soal cara pandang.
Refleksi untuk Kita Semua
Sebelum mencibir lowongan, tanyakan pada diri:
-
Apakah saya siap menjadi karyawan yang mudah diandalkan, bukan yang mudah tersinggung?
-
Apakah saya membangun karakter kerja, atau hanya mencari kenyamanan?
-
Apakah saya cukup besar untuk menghormati nilai orang lain?
Penutup: Ubah Dulu Dirimu, Baru Dunia Mengikut
Di dunia kerja, bukan hanya skill yang diuji, tapi karakter. Dan karakter tidak bisa dipalsukan lewat CV. Ia nyata dalam cara kita merespons realita. Maka, daripada mengolok-olok, mari belajar memahami. Karena yang siap kerja itu bukan yang paling banyak komentar—tapi yang paling bisa dipercaya.
“Kriteria kerja yang baik bukan soal enaknya, tapi soal cocoknya nilai antara karyawan dan perusahaan.” – Afif Luthfi
Related Articles
COMMUNICATION SKILL BAGI ORANG TEKNIS
Saya lihat orang pintar tersingkir kadang hanya karena satu hal: ia tak tahu cara menjelaskan apa yang ia tahu. Sudah kerja keras, lembur tiap malam. Tapi saat waktunya presentasi ke manajemen, suaranya gemetar, kalimatnya berputar & idenya gagal dipahami....
Kalau Ide Tak Diakui, Haruskah Kita Berhenti Berkarya?
Ada satu cerita yang sering kali berulang dalam dunia kerja, tapi jarang disuarakan. Seorang karyawan muda dengan segudang ide datang dengan semangat. Ia duduk rapat, lempar ide brilian, dan merasa sudah memberi kontribusi besar. Namun beberapa hari kemudian—ide itu...
“KAMU GILA ATAU LINGKUNGAN KERJAMU YANG BIKIN GILA?” – Tentang Bos Gaslighting dan Budaya Kantor yang Diam-Diam Merusak
Saya pernah mendampingi seorang profesional muda yang tiap minggu datang ke sesi coaching dalam keadaan lelah, bukan fisik—tapi mental. Dia bukan orang yang malas. Bahkan sebaliknya, dia rajin, komunikatif, dan punya inisiatif tinggi. Tapi belakangan, dia mulai...