
Saya pernah mendampingi seorang profesional muda yang tiap minggu datang ke sesi coaching dalam keadaan lelah, bukan fisik—tapi mental. Dia bukan orang yang malas. Bahkan sebaliknya, dia rajin, komunikatif, dan punya inisiatif tinggi.
Tapi belakangan, dia mulai mempertanyakan dirinya sendiri.
“Jangan-jangan memang aku yang kurang kompeten…” katanya sambil tertawa getir.
Ternyata, bosnya sering membolak-balikkan fakta. Saat hasil kerja bagus, pujian diberikan ke orang lain. Saat ada kesalahan, tanggung jawab dilempar ke dia. Bahkan ide-ide orisinalnya sering dianggap remeh—lalu muncul kembali dalam presentasi atasan, seolah milik si bos sendiri.
Saya diam. Lalu bertanya pelan:
“Kamu sadar gak… kamu sedang mengalami gaslighting?”
Gaslighting di Tempat Kerja
Gaslighting bukan cuma istilah di hubungan romantis. Ia hidup dan berkembang juga di ruang meeting. Saat bos membuatmu ragu akan realita. Saat kamu dipermalukan di depan tim lalu disuruh ‘jangan baper’. Saat kamu dianggap ‘kurang inisiatif’, padahal kamu sebenarnya hanya takut dimatikan idenya.
Lingkungan yang Tidak Aman Secara Psikologis
Banyak organisasi gagal memahami satu hal penting:
Karyawan hanya bisa berkembang di lingkungan yang mendukung rasa aman.
Bukan cuma soal keamanan fisik, tapi psikologis—tempat kita bisa jujur, bertanya tanpa takut dibodohi, mengkritik tanpa harus dimusuhi.
Sayangnya, banyak tempat kerja masih mengedepankan fear-based culture. Pimpinan dijadikan sosok tak boleh dibantah. Feedback cuma formalitas. Kesalahan dipermalukan. Transparansi diganti dengan politik.
Padahal, seperti yang dikatakan Amy Edmondson, “Psychological safety is not about being nice. It’s about candor, about being able to speak up.”
“Keamanan psikologis itu bukan soal bersikap manis atau baik-baik aja. Tapi soal keterbukaan, soal keberanian buat bicara jujur dan menyampaikan pendapat.”
Butuh Budaya Feedback, Bukan Budaya Takut
Organisasi hebat bukan yang bebas dari kesalahan. Tapi yang membuat kesalahan bisa diolah jadi pembelajaran.
Bukan tempat yang saling menghakimi. Tapi saling menguatkan.
Bukan tempat yang membuatmu mempertanyakan kewarasanmu sendiri. Tapi tempat yang bertanya, “Apa yang bisa kita perbaiki bersama?”
Mari kita bangun budaya kerja yang sehat. Dimulai dari berani bicara—dan lebih berani mendengar.
“Jangan buru-buru menyalahkan dirimu atas rasa lelah. Kadang, kamu bukan lemah—kamu cuma terlalu lama berada di tempat yang salah.” – Afif Luthfi
Related Articles
COMMUNICATION SKILL BAGI ORANG TEKNIS
Saya lihat orang pintar tersingkir kadang hanya karena satu hal: ia tak tahu cara menjelaskan apa yang ia tahu. Sudah kerja keras, lembur tiap malam. Tapi saat waktunya presentasi ke manajemen, suaranya gemetar, kalimatnya berputar & idenya gagal dipahami....
Kalau Ide Tak Diakui, Haruskah Kita Berhenti Berkarya?
Ada satu cerita yang sering kali berulang dalam dunia kerja, tapi jarang disuarakan. Seorang karyawan muda dengan segudang ide datang dengan semangat. Ia duduk rapat, lempar ide brilian, dan merasa sudah memberi kontribusi besar. Namun beberapa hari kemudian—ide itu...
Lowongan Kerja Bukan Ajang Lucu-lucuan: Mengapa Banyak yang Salah Kaprah?
Dalam dunia kerja hari ini, kita dihadapkan pada fenomena baru: lowongan kerja yang menjadi bahan ejekan. Seolah-olah, iklan loker bukan lagi panggilan untuk berkontribusi, tapi bahan hiburan digital di tengah timeline yang bising. Saya tak habis pikir—apa yang...