
Alkisah beberapa waktu lalu, ada partner dari luar negeri yang curhat.
Dia baru saja pitch ke satu perusahaan besar di Jakarta.
Meetingnya hangat. Banyak anggukan. Banyak kata-kata seperti “menarik ya”, “nanti kita follow up”, “kami pertimbangkan dulu ya”.
Lalu…
sunyi.
tidak ada kabar.
Padahal dari caranya bercerita, saya tahu: dia bukan cuma pitching produk. Tapi pitching dengan semangat, energi, dan rencana yang matang.
Dan dia bingung,
“Apa yang salah? Saya pikir mereka tertarik…”
Saya senyum kecil.
Bukan karena menertawakan dia,
tapi karena saya tahu:
ini bukan soal salah atau benar. Ini soal budaya.
Di Indonesia, menolak secara langsung sering dianggap tidak sopan.
Kami besar dengan ajaran:
“Kalau bisa halus, kenapa harus kasar?”
“Kalau bisa jaga perasaan, kenapa harus gamblang?”
“Kalau bisa hindari konflik, kenapa harus debat?”
Akhirnya, banyak penolakan dikemas jadi kalimat-kalimat ambigu.
Yang kalau kamu gak terbiasa, akan terdengar seperti: harapan.
Kalimat seperti ini sering muncul di ruang meeting:
-
βKita bahas lagi nanti ya.β
-
βBoleh, nanti saya pikir-pikir dulu.β
-
βSaya harus diskusi dulu dengan tim.β
-
βMenarik, tapi kita sedang fokus ke hal lain dulu.β
Padahal artinya?
Udah jelas: kami belum yakin, atau kami nggak terlalu butuh, atau bahkan kami nggak tertarik.
Tapi apakah ini munafik?
Tidak. Ini bagian dari konteks budaya: menjaga harmoni lebih penting daripada menang debat.
Ceritanya, sebagai orang yang kerja di tech, tentu kamu paham banget gimana logika itu pengen semuanya jelas.
Yes or No.
Deal or No Deal.
Tapi kenyataannya, komunikasi bukan soal kejelasan saja.
Komunikasi adalah soal hubungan, perasaan, dan cara menjembatani dunia yang berbeda.
Dan justru di situlah letak seni berkomunikasi di Asia Tenggara, terutama Indonesia:
Kadang kami bilang βsipβ, tapi maksudnya βnggakβ.
Kadang kami bilang βmenarikβ, tapi hati kami berkata βenggak dulu, dehβ.
Lalu, gimana cara menghadapi ini?
Kalau kamu datang dari latar teknis, atau budaya yang lebih direct,
ada 3 hal yang bisa kamu latih:
1. Baca antara kalimat.
Jangan cuma dengar kata-katanya, tapi amati ekspresi, gestur, dan intonasi.
Apakah mereka antusias? Apakah mereka benar-benar bertanya lanjut?
Atau hanya sekadar sopan?
2. Validasi, bukan desak.
Setelah meeting, kirim follow-up email.
Misalnya: βDari diskusi kemarin, saya menangkap ada ketertarikan soal X. Apakah benar begitu? Jika iya, bolehkah saya bantu siapkan proposal untuk melanjutkan?β
Ini bukan mendesak, tapi mengajak mereka menyatakan posisi dengan nyaman.
3. Latih sensitivitas budaya.
Kalau kamu mau sukses jangka panjang di pasar Asia, belajar mengenali βmakna di balik kataβ itu bukan opsional, tapi krusial.
Orang mungkin tak langsung bilang βnoβ, tapi bahasa tubuh, jeda, dan susunan katanya bisa berkata lebih banyak dari yang kamu duga.
Kamu tentu ingin membantu klien teknis dan internasional untuk menjembatani kesenjangan ini.
Karena komunikasi bukan cuma tentang apa yang kamu sampaikan,
tapi juga bagaimana lawan bicaramu menerima dan memaknainya.
Dalam dunia bisnis lintas budaya, yang terdengar sebagai βyaβ,
bisa jadi sebenarnya berarti βtidak sekarangβ.
Dan βtidak sekarangβ,
bisa berarti: βcoba lagi kalau kamu lebih peka.β
Kalau kamu ingin belajar seni membaca dan menjawab situasi-situasi seperti ini,
itu artinya kamu sudah melangkah dari menjual, menuju membangun hubungan.
Dan di Asia, hubunganlah yang membuat pintu-pintu terbuka.
“Kalau kamu hanya mendengarkan apa yang dikatakan, kamu bisa tertipu. Tapi kalau kamu belajar membaca apa yang tak dikatakan, kamu bisa memimpin.” – Afif Luthfi
Related Articles
Kalau Ide Tak Diakui, Haruskah Kita Berhenti Berkarya?
Ada satu cerita yang sering kali berulang dalam dunia kerja, tapi jarang disuarakan. Seorang karyawan muda dengan segudang ide datang dengan semangat. Ia duduk rapat, lempar ide brilian, dan merasa sudah memberi kontribusi besar. Namun beberapa hari kemudianβide itu...
Lowongan Kerja Bukan Ajang Lucu-lucuan: Mengapa Banyak yang Salah Kaprah?
Dalam dunia kerja hari ini, kita dihadapkan pada fenomena baru: lowongan kerja yang menjadi bahan ejekan. Seolah-olah, iklan loker bukan lagi panggilan untuk berkontribusi, tapi bahan hiburan digital di tengah timeline yang bising. Saya tak habis pikirβapa yang...
βKAMU GILA ATAU LINGKUNGAN KERJAMU YANG BIKIN GILA?β – Tentang Bos Gaslighting dan Budaya Kantor yang Diam-Diam Merusak
Saya pernah mendampingi seorang profesional muda yang tiap minggu datang ke sesi coaching dalam keadaan lelah, bukan fisikβtapi mental. Dia bukan orang yang malas. Bahkan sebaliknya, dia rajin, komunikatif, dan punya inisiatif tinggi. Tapi belakangan, dia mulai...